“DARURAT BAHASA” OLEH DR AFRIANTO, SS M.HUM

  • Dr Afrianto, SS M.Hum Kepala Pusat Pelayanan Praktik Lapangan Terpadu/KP3LT Universitas Teknokrat Indonesia –

Bandar Lampung,- “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”. Slogan ini mewarnai khazanah kebahasaan di Nusantara. Namun, adakah terpikir tentang sejauh manakah bahasa daerah dilestarikan? Terlupakan, ditinggalkan, hingga akhirnya punah.

Lampung memiliki bahasa (dikenal bahasa Lampung) yang terbagi dalam dua dialek utama (api dan nyow). Tiap-tiap dialek memiliki karakteristik yang berbeda, subdialek yang beragam serta memiliki sistem tulisan dalam bentuk aksara.  Ini menunjukkan bahwa bahasa Lampung kaya akan unsur-unsur kabahasaan jika ditinjau secara linguistik.

Selain itu, secara geografis, Provinsi Lampung merupakan daerah transit (persinggahan) antara Pulau Jawa dan Sumatera, khususnya jalur darat. Selain pribumi, masyarakat yang tinggal di Lampung berasal dari berbagai wilayah di luar Provinsi Lampung sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Lampung telah berpadu dari berbagai etnis, budaya, dan bahasa.

Memiliki keberagaman bahasa dan menjadi daerah transit memengaruhi penggunaan bahasa Lampung. Dalam bidang perniagaan, pemerintahan, dan bahkan komunikasi sehari-hari, masyarakat cenderung menggunakan bahasa Indonesia.

Sebab, dalam hal ini bahasa Indonesia menjadi penyatu berbagai bahasa yang ada dalam masyarakat Lampung dan memudahkan komunikasi. Secara tidak langsung hal ini memengaruhi eksistensi bahasa Lampung. Lebih jauh lagi, populasi penduduk Lampung di tahun 2018 yaitu 9 juta jiwa dan tercatat sekitar 1 juta jiwa merupakan penutur jati. Angka tersebut menimbulkan hipotesis bahwa bahasa Lampung akan kehilangan penutur jatinya.

Terkait dengan penutur jati, pada tahun 2017, sebuah penelitian yang mengkaji sikap bahasa mahasiswa (penutur jati bahasa Lampung) memuarakan simpulan bahwa mayoritas informan bersikap negatif. Dalam arti, mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia, baik ketika berbicara pada orang tua dan saudara di rumah atau di tempat umum maupun ketika berbicara dengan teman yang juga bersuku Lampung.

Selain itu, ditemukan juga bahwa keluarga sebagai skala inti pembelajaran bahasa Lampung bersifat pasif sehingga berakibat anak-anak tidak mahir berbahasa Lampung. Berdasarkan UNESCO, jika pada tahap anak-anak tidak lagi menggunakan bahasa ibu di rumah ibu, bahasa tersebut terancam punah. Fakta lain juga ditemukan pada Ethnologue (sebuah laman yang menyediakan metadata bahasa di dunia) bahwa bahasa Lampung masuk dalam kategori threatened (terancam punah), baik dialek api ataupun nyow).

Begitupun menurut Moseley, bahwa Indonesia memiliki 146 bahasa terancam punah yang salah satunya adalah bahasa Lampung. Selanjutnya, ada juga permasalahan lain yang terkait penelitian mengenai unsur kebahasaan bahasa Lampung. Arka menemukan bahwa dari tahun 1975 sampai 2007 terdapat 335 penelitian tata bahasa daerah dan tercatat hanya 9 penelitian tata bahasa Lampung. Ini berarti bahwa penelitian mengenai tata bahasa Lampung masih terbatas.

Pada dasarnya, dari fakta-fakta tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kepunahan bahasa Lampung, yaitu daerah transit, keragamanan bahasa, populasi penutur jati, sikap bahasa, dan kajian yang terbatas . Kompleksitas faktor pemicu ini sudah terihat jelas di depan mata. Oleh karena itu, mari kita berupaya menyelamatkannya.

Adapun upaya yang dapat dilakukan mencakup:

  1. Bidang sosial. Menggunakan bahasa Lampung dalam pecakapan sehari-hari dimulai dari lingkungan keluarga hingga tempat-tempat umum serta mengenalkan bahasa Lampung melalui pembelajaran di sekolah dengan mengutamakan kemahiran berbahasa Lampung.
  2. Bidang Keilmuan. Mengkaji dan meneliti bahasa Lampung kemudian memublikasikannya pada jurnal-jurnal nasional dan internasional serta disajikan pada seminar atau konferensi nasional dan internasional.

Sebagai penutup, ini saatnya bagi kita masyarakat Lampung untuk berpadu dan menggaungkan “Untuk-Mu Lampung-Ku”. [Dr Afrianto, SS M.Hum, Dosen Universitas Teknokrat Indonesia]

Leave a Comment